Corat-coret

Minggu, 16 Juni 2013

Analisis Novel Jalan Tak Ada Ujung: Mochtar Lubis


 Yang minat monggo dibaca

Penilaian Sosial Tokoh Utama terhadap Kekerasan dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung
Teori Penilaian Sosial
Sherif & Hovland (1961) mencoba menggabungkan sudut pandang psikologi, sosiologi dan antropologi dalam teorinya ini. Dalil yang dasar dari teorinya adalah bahwa orang membentuk situasi yang penting untuk dirinya, jadi, tidak ditentukan oleh situasi.
Pembentukan situasi ini mencakup faktor-faktor intern (sikap, emosi, motif, pengaruh pengalaman masa lampau dan sebagainya), maupun eksternal (obyek, orang-orang dan lingkungan fisik). Interaksi dari faktor-faktor intern dan ekstern inilah yang menjadi kerangka acuan (frame of reference) dari setiap perilaku.
Kerangka acuan yang dimaksud sheriff bukanlah dalam artinya yang abstrak (seperti norma-norma, idelisme, dan lain-lain) akan tetapi dalam arti kongkrit, yang khusus menyangkut satu perilaku tertentu pada waktu dan tempat tertentu.
Perilaku disini bukannya disebabkan atau dipengaruhi oleh faktor-faktor internal  dan ekternal tersebut, melainkan perilaku itu akan mengikuti pola-pola tertentu yang diciptakan oleh faktor-faktor tersebut.
Interaksi antara faktor-faktor internal dan eksternal sejalan dengan teori kognitif dan teori lapangan. Jika kondisi stimulus meragukan atau tidak jelas padahal motivasi cukup kuat, maka faktor-faktor internal akan lebih berpengaruh. Sebaliknya, jika faktor motif yang kuat, padahal stimulusnya jelas, maka faktor luar yang lebih pengaruh.
Dalam kerangka rujukan ini, menurut Sherif ada patokan-patokan tertentu (anchors) yang menjadi pedoman perilaku. Patokan-patokan inilah yang dianalisis oleh sheriff dalam teorinya dan dicari sejauh mana pengaruhnya terhadap penilaian sosial yang dilakukan oleh individu.
Sherif dan Hovland juga mengatakan bahwa ada dua perbedaan antara penilaian terhadap situasi fisik yang bersifat objektif dengan sikap. Dalam sikap, individu sudah membawa klasifikasinya sendiri dalam menilai suatu objek dan ini mempengaruhi penerimaan atau penolakan individu terhadap objek tersebut. Kedua, penilaian sosial (sikap) berbeda-beda dari satu individu ke individu yang lain, padahal dalam penilaian fisik tidak terdapat variasi yang terlalu besar.
Jika seorang individu melibatkan dirinya sendiri dalam situasi yang dinilainya sendiri, maka ia akan menjadikan dirinya sendiri sebagai patokan. Hanya hal-hal yang dekat dengan posisinya mau diterimanya.
Makin terlibat individu itu, maka ambang penerimaannya makin tinggi dan makin sedikit hal-hal yang mau diterimanya. Asimilasi jadi makin kurang. Sebaliknya, ambang penolakan makin rendah, sehingga makin banyak hal-hal yang tidak bisa diterimanya. Hal ini makin terasa jika individu diperbolehkan menggunakan patokan-patokannya sendiri seberapa banyak-pun dia anggap perlu.
Pada tokoh Guru Isa, situasi yang diciptakan sebagian besar adalah (1) takut, hal menjadi titik awal penilaian sosialnya terhadap kekerasan. Ia tidak dipengaruhi kondisi saat itu, dimana semangat perjuangan revolusi orang-orang sedang berapi-api berjuang mempertahankan kemerdekaan, ia tetap pada penilaiannya.
Hal yang mempengaruhi sikap sosial Guru Isa terhadap kekerasan ialah faktor intern yakni oleh masa lalunya sendiri, (2) masa kanak-kanaknya ia tidak pernah melukai dan dilukai orang lain, ditambah faktor ekstern (3) ketika ia mengingat dengan kekejaman yang dilakukan orang-orang jepang yang membuat ia tidak percaya pada kekerasan..
(1)   Baru hari itu ia melihat muka dengan segi-segi keras dan tajam dari revolusi. Penumpahan darah. Darah manusia. Guru Isa ia akan terluka hatinya, jika dikatakan padanya, bahwa perasaan yang dirasanya adalah rasa takut. Tetapi pada dirinya sendiri ia tidak hendak mengakui, bahwa dia takut.
(2)   Semenjak dia melewati masa kanak-kanak yang suka berkelahi, maka Guru Isa selama hidupnya tidak pernah memakai kekerasan terhadap orang lain. Atau mengalami dirinya ditundukkan dengan kekerasan badan oleh orang lain. Tinjunya tidak pernah dikepalkan untuk memukul orang. Dan tinju orang tidak pernah memukul biru di kulit mukanya. Guru Isa sungguh-sungguh manusia damai. Manusia penyuka damai dan penerima damai.
(3)   Guru Isa tidak percaya pada kekerasan. Karena itu beberapa tahun ini perlahan timbul kekacauan sedikit dlam pandangan hidupnya. Kekerasan yang dipertunjukkan orang-orang jepang amat melukai perasaannya.
Penolakannya terhadap kekerasan tidak semata-mata idealisme dan norma yang ia bangun sendiri kedua faktor (ekstern dan intern) lah yang menumbuhkan sikap negatifnya terhadap kekerasan. Ditambah kondisi saat itu, ketika ia melihat kekerasan terjadi dimana-mana (4) kekerasan yang dilakukan ubel-ubel, (5) maupun yang dilakukan pribumi sendiri, ketika Rakhmat menceritakan kekerasan dan kekejaman yang dilakukan Ontong. Ia tidak kuasa melihat kedua-duanya. Ia akan merasa takut, bukti penolakannya terhadap kekerasan yang dilakukan. Dan faktor ekstern-lah yang mendominasi penilaiannya terhadap kekerasan itu, karena pengalaman-pengalaman yang ia temui di masa itu.
(4)   Isa tidak bisa melukiskan perasaannya, ketika dia berpaling kembali, dan melihat serdadu-serdadu india melumpat ke jalan dari truk, perasaannya kosong. Terutama perutnya. Dan dadanya terasa sedikit sesak. Sekarang bukan karena berlari keras, tetapi karena menahan perasaan hatinya.
(5)   “Kejam. Itu tidak boleh,” katanya. Suaranya gemetar bukan karena marah tetapi karena takut. Karena takut. Bukan amarah yang timbul dalam hatinya mendengar cerita kejam itu, hanya takut, dan takut, dan takut.
Guru Isa selalu punya alasan atas penolakan-penolakannya terhadap kekerasan, inilah klasisifikasi yang dibangunnya, yakni, (6) bahwa ia adalah seorang guru, ia juga menganggap kekerasan itu adalah pekerjaan orang kasar dan orang biadab, ia menganggap cinta pada tanah air itu tidak harus dibela dengan darah, revolusi tidak harus ditanggapi dengan kekerasan.
(6)   “dalam revolusi ini,” dia menyusun pikirannya, “banyak orang terpaksa melakukan rolnya yang acapkali tidak dikehendakinya. “sekarang bertambah jelas baginya, terutama kedudukannya sendiri.” Sekarang bertambah jelas baginya, terutama kedudukannya sendiri. “Engkau lihat, aku seorang Guru. Aku tidak suka pada kekerasan. Semenjak dahulu aku tidak pernah berkelahi. Aku benci berkelahi. Aku anggap berkelahi pekerjaan kasar dan orang biadab. Tetapi mereka pilih aku menjadi salah seorang pemimpin, pemimpin perjuangan. Ini rol aku tidak suka pegang. Tetapi aku terima. Engkau tahu mengapa aku terima? Bukan karena semangat revolusiku berapi-api, semangat cinta tanah airku berapi-api – aku memang cinta tanah air, tetapi dalam darahku tidak ada atau belum ada itu tradisi yang mendorong aku berkorban darah dan jiwa untuk tanah air – untuk ini aku belum pernah hidup dalam tanah air yang mesti dibela dengan darah
Berkenaan dengan perinsip terakhir yang mengatakan bahwa semakin terlibat maka semakin sedikit hal yang bisa diterima individu, juga terlihat ketika Guru Isa makin terlibat dengan kekerasan itu justru ia semakin menjauh, dan tak mau terlibat lagi. (7) seperti ketika ia terlibat langsung dalam pelemparan granat yang dilakukan Hazil dan Rakhmat, justru ia semakin tak mau terlibat.
(7)   Saya tidak pernah akan mau ikut lagi, katanya pada diri sendiri, saya tidak mau ikut lagi, katanya berulang-ulang, tidak mau lagi. Tidak mau lagi.
Guru Isa dianggap memang memiliki penilainan sendiri mengenai kekerasan, tepatnya revolusi yang dianggap dekat dengan kekerasan. Guru Isa memiliki pendangan lain tentang revolusi, menurutnya cinta tanah air bukan ditunjukkan dengan kekerasan. Tokoh Guru Isa konsisten dengan perinsip yang dibuatnya, dengan penilaiannya terhadap kekerasan, dari awal hingga akhir meskipin dalam keadaan terdesak dan terpaksa terlibat, dia tetap menolak kekerasan itu sendiri.

Guru Isa dianggap memang memiliki penilainan sendiri mengenai kekerasan, tepatnya revolusi yang dianggap dekat dengan kekerasan. Guru Isa memiliki pendangan lain tentang revolusi, menurutnya cinta tanah air bukan ditunjukkan dengan kekerasan. Tokoh Guru Isa konsisten dengan perinsip yang dibuatnya, dengan penilaiannya terhadap kekerasan, dari awal hingga akhir meskipun dalam keadaan terdesak dan terpaksa terlibat, dia tetap menolak kekerasan itu sendiri.


Daftar Bacaan
Lubis, Moctar. 2010. Jalan Tak Ada Ujung. Jakarta: Yayasan Putstaka Obor Indonesia
E Shaw, Marvin, Philip R. Costanzo. Theories of Sosial Psychology. Disadur Sarwono, Sarlito Wirawa.  1984. Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: C.V Rajawali




Tidak ada komentar:

Posting Komentar