Yang minat monggo dibaca
Penilaian Sosial Tokoh Utama terhadap
Kekerasan dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung
Teori
Penilaian Sosial
Sherif
& Hovland (1961) mencoba menggabungkan sudut pandang psikologi, sosiologi
dan antropologi dalam teorinya ini. Dalil yang dasar dari teorinya adalah bahwa
orang membentuk situasi yang penting untuk dirinya, jadi, tidak
ditentukan oleh situasi.
Pembentukan
situasi ini mencakup faktor-faktor intern (sikap, emosi, motif, pengaruh
pengalaman masa lampau dan sebagainya), maupun eksternal (obyek, orang-orang
dan lingkungan fisik). Interaksi dari faktor-faktor intern dan ekstern inilah
yang menjadi kerangka acuan (frame of reference) dari setiap perilaku.
Kerangka
acuan yang dimaksud sheriff bukanlah dalam artinya yang abstrak (seperti
norma-norma, idelisme, dan lain-lain) akan tetapi dalam arti kongkrit, yang khusus
menyangkut satu perilaku tertentu pada waktu dan tempat tertentu.
Perilaku
disini bukannya disebabkan atau dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan ekternal tersebut, melainkan perilaku itu
akan mengikuti pola-pola tertentu yang diciptakan oleh faktor-faktor tersebut.
Interaksi
antara faktor-faktor internal dan eksternal sejalan dengan teori kognitif dan
teori lapangan. Jika kondisi stimulus meragukan atau tidak jelas padahal
motivasi cukup kuat, maka faktor-faktor internal akan lebih berpengaruh.
Sebaliknya, jika faktor motif yang kuat, padahal stimulusnya jelas, maka faktor
luar yang lebih pengaruh.
Dalam
kerangka rujukan ini, menurut Sherif ada patokan-patokan tertentu (anchors) yang menjadi pedoman perilaku.
Patokan-patokan inilah yang dianalisis oleh sheriff dalam teorinya dan dicari
sejauh mana pengaruhnya terhadap penilaian sosial yang dilakukan oleh individu.
Sherif
dan Hovland juga mengatakan bahwa ada dua perbedaan antara penilaian terhadap
situasi fisik yang bersifat objektif dengan sikap. Dalam sikap, individu
sudah membawa klasifikasinya sendiri dalam menilai suatu objek dan ini
mempengaruhi penerimaan atau penolakan individu terhadap objek tersebut. Kedua,
penilaian sosial (sikap) berbeda-beda dari satu individu ke individu yang lain,
padahal dalam penilaian fisik tidak terdapat variasi yang terlalu besar.
Jika
seorang individu melibatkan dirinya sendiri dalam situasi yang dinilainya
sendiri, maka ia akan menjadikan dirinya sendiri sebagai patokan. Hanya hal-hal
yang dekat dengan posisinya mau diterimanya.
Makin
terlibat individu itu, maka ambang penerimaannya makin tinggi dan makin sedikit
hal-hal yang mau diterimanya. Asimilasi jadi makin kurang. Sebaliknya, ambang
penolakan makin rendah, sehingga makin banyak hal-hal yang tidak bisa
diterimanya. Hal ini makin terasa jika individu diperbolehkan menggunakan
patokan-patokannya sendiri seberapa banyak-pun dia anggap perlu.
Pada
tokoh Guru Isa, situasi yang diciptakan sebagian besar adalah (1) takut, hal
menjadi titik awal penilaian sosialnya terhadap kekerasan. Ia tidak dipengaruhi
kondisi saat itu, dimana semangat perjuangan revolusi orang-orang sedang
berapi-api berjuang mempertahankan kemerdekaan, ia tetap pada penilaiannya.
Hal
yang mempengaruhi sikap sosial Guru Isa terhadap kekerasan ialah faktor intern
yakni oleh masa lalunya sendiri, (2) masa kanak-kanaknya ia tidak pernah
melukai dan dilukai orang lain, ditambah faktor ekstern (3) ketika ia mengingat
dengan kekejaman yang dilakukan orang-orang jepang yang membuat ia tidak
percaya pada kekerasan..
(1)
Baru
hari itu ia melihat muka dengan segi-segi keras dan tajam dari revolusi.
Penumpahan darah. Darah manusia. Guru Isa ia akan terluka hatinya, jika
dikatakan padanya, bahwa perasaan yang dirasanya adalah rasa takut. Tetapi pada
dirinya sendiri ia tidak hendak mengakui, bahwa dia takut.
(2)
Semenjak
dia melewati masa kanak-kanak yang suka berkelahi, maka Guru Isa selama
hidupnya tidak pernah memakai kekerasan terhadap orang lain. Atau mengalami
dirinya ditundukkan dengan kekerasan badan oleh orang lain. Tinjunya tidak
pernah dikepalkan untuk memukul orang. Dan tinju orang tidak pernah memukul
biru di kulit mukanya. Guru Isa sungguh-sungguh manusia damai. Manusia penyuka
damai dan penerima damai.
(3)
Guru
Isa tidak percaya pada kekerasan. Karena itu beberapa tahun ini perlahan timbul
kekacauan sedikit dlam pandangan hidupnya. Kekerasan yang dipertunjukkan
orang-orang jepang amat melukai perasaannya.
Penolakannya
terhadap kekerasan tidak semata-mata idealisme dan norma yang ia bangun sendiri
kedua faktor (ekstern dan intern) lah yang menumbuhkan sikap negatifnya
terhadap kekerasan. Ditambah kondisi saat itu, ketika ia melihat kekerasan
terjadi dimana-mana (4) kekerasan yang dilakukan ubel-ubel, (5) maupun yang
dilakukan pribumi sendiri, ketika Rakhmat menceritakan kekerasan dan kekejaman
yang dilakukan Ontong. Ia tidak kuasa melihat kedua-duanya. Ia akan merasa
takut, bukti penolakannya terhadap kekerasan yang dilakukan. Dan faktor
ekstern-lah yang mendominasi penilaiannya terhadap kekerasan itu, karena
pengalaman-pengalaman yang ia temui di masa itu.
(4)
Isa
tidak bisa melukiskan perasaannya, ketika dia berpaling kembali, dan melihat
serdadu-serdadu india melumpat ke jalan dari truk, perasaannya kosong. Terutama
perutnya. Dan dadanya terasa sedikit sesak. Sekarang bukan karena berlari
keras, tetapi karena menahan perasaan hatinya.
(5)
“Kejam.
Itu tidak boleh,” katanya. Suaranya gemetar bukan karena marah tetapi karena
takut. Karena takut. Bukan amarah yang timbul dalam hatinya mendengar cerita
kejam itu, hanya takut, dan takut, dan takut.
Guru
Isa selalu punya alasan atas penolakan-penolakannya terhadap kekerasan, inilah
klasisifikasi yang dibangunnya, yakni, (6) bahwa ia adalah seorang guru, ia
juga menganggap kekerasan itu adalah pekerjaan orang kasar dan orang biadab, ia
menganggap cinta pada tanah air itu tidak harus dibela dengan darah, revolusi
tidak harus ditanggapi dengan kekerasan.
(6)
“dalam
revolusi ini,” dia menyusun pikirannya, “banyak orang terpaksa melakukan rolnya
yang acapkali tidak dikehendakinya. “sekarang bertambah jelas baginya, terutama
kedudukannya sendiri.” Sekarang bertambah jelas baginya, terutama kedudukannya
sendiri. “Engkau lihat, aku seorang Guru. Aku tidak suka pada kekerasan.
Semenjak dahulu aku tidak pernah berkelahi. Aku benci berkelahi. Aku anggap
berkelahi pekerjaan kasar dan orang biadab. Tetapi mereka pilih aku menjadi
salah seorang pemimpin, pemimpin perjuangan. Ini rol aku tidak suka pegang.
Tetapi aku terima. Engkau tahu mengapa aku terima? Bukan karena semangat
revolusiku berapi-api, semangat cinta tanah airku berapi-api – aku memang cinta
tanah air, tetapi dalam darahku tidak ada atau belum ada itu tradisi yang
mendorong aku berkorban darah dan jiwa untuk tanah air – untuk ini aku belum
pernah hidup dalam tanah air yang mesti dibela dengan darah
Berkenaan
dengan perinsip terakhir yang mengatakan bahwa semakin terlibat maka semakin
sedikit hal yang bisa diterima individu, juga terlihat ketika Guru Isa makin
terlibat dengan kekerasan itu justru ia semakin menjauh, dan tak mau terlibat
lagi. (7) seperti ketika ia terlibat langsung dalam pelemparan granat yang
dilakukan Hazil dan Rakhmat, justru ia semakin tak mau terlibat.
(7)
Saya
tidak pernah akan mau ikut lagi, katanya pada diri sendiri, saya tidak mau ikut
lagi, katanya berulang-ulang, tidak mau lagi. Tidak mau lagi.
Guru
Isa dianggap memang memiliki penilainan sendiri mengenai kekerasan, tepatnya
revolusi yang dianggap dekat dengan kekerasan. Guru Isa memiliki pendangan lain
tentang revolusi, menurutnya cinta tanah air bukan ditunjukkan dengan
kekerasan. Tokoh Guru Isa konsisten dengan perinsip yang dibuatnya, dengan
penilaiannya terhadap kekerasan, dari awal hingga akhir meskipin dalam keadaan
terdesak dan terpaksa terlibat, dia tetap menolak kekerasan itu sendiri.
Guru
Isa dianggap memang memiliki penilainan sendiri mengenai kekerasan, tepatnya
revolusi yang dianggap dekat dengan kekerasan. Guru Isa memiliki pendangan lain
tentang revolusi, menurutnya cinta tanah air bukan ditunjukkan dengan
kekerasan. Tokoh Guru Isa konsisten dengan perinsip yang dibuatnya, dengan
penilaiannya terhadap kekerasan, dari awal hingga akhir meskipun dalam keadaan
terdesak dan terpaksa terlibat, dia tetap menolak kekerasan itu sendiri.
Daftar Bacaan
Lubis, Moctar. 2010. Jalan Tak Ada Ujung. Jakarta: Yayasan
Putstaka Obor Indonesia
E
Shaw, Marvin, Philip R. Costanzo. Theories
of Sosial Psychology. Disadur Sarwono, Sarlito Wirawa. 1984. Teori-teori
Psikologi Sosial. Jakarta: C.V Rajawali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar